CCTV sebagai Alat Bukti sesuai UU ITE

Cirebon24.com – Pengaturan alat bukti elektronik dalam sistem hukum Indonesia belum secara tegas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), tetapi telah diatur secara tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya UU Dokumen Perusahaan, UU Terorisme, UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lebih rinci, pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) memberikan penegasan bahwa Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Untuk dapat diterima sebagai alat bukti hukum yang sah tentu perlu memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil sebagaimana diatur dalam UU ITE. Dalam banyak kasus, diperlukan digital forensik dan keterangan ahli untuk menjelaskan, antara lain originalitas dan integritas alat bukti elektronik. Untuk pembahasan lebih lanjut dapat dilihat di artikel Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik.

Perlu ditegaskan di sini bahwa apabila Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik telah memenuhi persyaratan formil dan materil sebagaimana diatur dalam UU ITE maka hasil cetaknya pun sebagai alat bukti surat juga sah. Akan tetapi apabila informasi dan dokumen elektronik tidak memenuhi persyaratan formil dan materil UU ITE maka hasil cetaknya pun tidak dapat sah. Dalam hukum acara pidana maka nilai kekuatan pembuktian alat bukti elektronik maupun hasil cetaknya bersifat bebas.

Oleh karena itu, video dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah sepanjang memenuhi persyaratan-persyaratan yang diatur dalam UU ITE. Yang perlu ditambahkan dalam bagian ini adalah kapankah Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik digunakan? Kapankah hasil cetak Informasi dan Dokumen Elektronik digunakan?

Jawabannya ialah, pada keduanya sama-sama bisa digunakan secara bersamaan dalam proses peradilan pidana. Hal tersebut juga dapat bergantung pada bentuk mana alat bukti tersebut dapat digunakan secara maksimal dalam persidangan. Misalnya dalam kasus penghinaan melalui SMS atau melalui blog dan website maka akan lebih mudah bagi penyidikan dan proses persidangan untuk memperlihatkan hasil cetak dari SMS atau hasil print screen dari blog atau website. Tentu dengan catatan, bahwa informasi dan dokumen elektronik dalam bentuk SMS, blog, website tersebut telah memenuhi persyaratan subjektif maupun objektif.

Dalam kasus lain misalnya kejadian yang terekam dalam close circuit television (CCTV), bisa jadi alat bukti berupa video dari CCTV lebih mudah digunakan sebagai alat bukti elektronik dalam bentuk originalnya, dibandingkan jika video tersebut di cetak (paper base) dalam bentuk scene-per-scene. Sedangkan mengenai bukti permulaan yang cukup dalam menentukan seseorang sebagai tersangka, Pasal 1 butir 14 KUHAP 14 mengatur: “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”

Dalam praktik di lapangan, seseorang dapat dijadikan tersangka apabila telah ada laporan polisi atau laporan kejadian mengenai dirinya dan adanya minimal satu alat bukti yang diatur dalam perundang-undangan. Alat bukti tersebut dapat berasal dari Berita Acara Pemeriksaan Saksi (Pelapor), dan alat bukti elektronik berupa video yang dimaksud. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan sebelumnya, terhadap video tersebut perlu ada pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan terpenuhinya persyaratan materil. Oleh karena itu, dalam banyak kasus diperlukan keterangan ahli. Keterangan ahli yang dimaksud juga dapat dijadikan alat bukti untuk memperkuat dugaan bahwa orang tersebut dapat dijadikan tersangka. (c24mh)

Sumber : hukumonline.com

Rekomendasi CCTV :

CCTV Indoor CAL-1310AHD
CCTV Outdoor AHD-1345HR-P6W-2M
12388 Total Views    4 Views Today

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below