Asal-usul Terasi Khas Cirebon

Terasi Cirebon dan Asal-usulnya - Oleh oleh Mami khas Cirebon 1

Terasi Khas Cirebon – Siapa sih,  yang tidak kenal dengan namanya terasi? TERASI KHAS CIREBON sudah dikenal banyak orang dengan bau harumnya yang sangat khas, siapa disangka dan diduga terasi ini sudah puluhan tahun loh, umurnya dan memiliki sejarah yang panjang dalam menciptakannya, kita perlu berterima kasih pada nenek moyang kita, karena telah diwariskan penyedap makanan yang nikmat ini.

Bahan yang satu ini memang sudah menjadi bahan wajib di dapur, bagi kamu pecinta sambal terasi. Terasi tidak hanya digunakan di Indonesia saja, bumbu yang terbuat dari udang fermentasi ini juga digunakan di berbagai negara di Asia, khususnya Asia Tenggara.

Dengan aromanya yang khas, membuat keberadaan terasi di dapur emak tak tergantikan. Selain digunakan pada pembuatan sambal, terasi juga lezat digunakan pada berbagai masakan lainnya.

Terasi Khas Cirebon - Oleh oleh Mami Khas Cirebon

Asal-usul Terasi Khas Cirebon

Terasi Khas Cirebon – Alkisah dan awal mula TERASI ditemukan pada abad ke-14, pada waktu itu, Pangeran Walangsungsang beserta istri dan adiknya, yang bernama Nyi Mas Endang Ayu dan Nyi Mas Rarasantang, berkunjung ke sebuah pedukuhan (penduduknya di bawah Kelurahan atau Desa), yakni Pedukuhan Lemah Wungkuk dan menemukan sebuah rumah yang dihuni seorang kakek tua, yang bernama Ki Gedeng Alang-alang. Pangeran Walangsungsang beserta istri dan adiknya pun, beristirhat disana.

Dan selama tinggal, Pangeran Walangsunsang atau biasa dikenal Pangeran Cakrabuana memasuki hutan rawa belukar menebangi pepohonan besar dan kecil tiap hari dan hutan menjadi gundul, ia tanami palawija dan menjadi perkebunan.

Kemudian si kakek Tua melihat hutan yang tadinya banyak pohon lebat, sekarang sudah menjadi perkebunan, dengan tanaman palawija dan si kakek pun sangat senang sekali.

Cakrabuana lalu disuruh menangkap ikan dan udang rebon. Ia diberi jala, alat penangkap ikan dan perahu kecil. Tiap malam ia pergi menangkap ikan dan udang rebon (ebi) untuk memenuhi kebutuhan hidup selama tinggal di pedukuhan.

Singkat cerita, Raja Padjajaran yang pada waktu itu dipimpin oleh Prabu Siliwangi mendengar ada pedukuhan yang warganya berkebun dan menangkap ikan dan udang rebon. Karena wilayah tersebut masih dalam kekuasaannya, Sang Prabu segera memanggil Ki Dipati Palimanan, Gedeng Kiban namanya.

Sang Prabu berkata, “Hai wilayah di Palimanan sekarang bawahan engkau, tanah pantai yang jadi pemukiman, banyak orang yang berkebun dan ada nelayan yang menangkap ikan dan udang rebon, aku lebih terasih kepada tumbukan ikan rebon, agar diperiksa sampai jelas dan ditetapkan setiap tahun pedukuhan tersebut harus bayar upeti dengan sepikul bubukan rebon yang sudah halus dalam bentuk gelondongan,” katanya.

Lalu ki Dipati mengucap sandika (siap menjalankan perintah), kemudian meninggalkan ruang sidang dan memanggil tujuh orang mantri (ponggawa pepitu), mereka pun langsung menghadap kepadanya.

Ki Dipati berkata, “Hai ponggawa pepitu, sekarang periksalah dukuh baru di pinggir pantai, ada berapa orang  nelayan penangkap ikan dan rebon, seyogyanya (seharusnya) diberi ketetapan upeti tiap tahun sepikul bubukan rebon yang sudah halus bentuk gelondongan. Harap diperikasa dengan jelas, karena Sang Prabu Siliwangi, terasih sekali kepada bubukan rebon yang sudah berbentuk gelondongan,” katanya.

Ki Mantri pepitu mengucap sandika. Segera menghindar dari hadapannya, mereka terus berjalan menuju ke pantai.

Diceritakan pada saat itu, Cakrabuana bersama sang istri dan sang adiknya sedang menumbuk rebon di lumping batu dengan hulu batu, sambil berceloteh “Oga age, geura age, geura bebek (cepat-cepatlah ditumbuk)!” kata mereka.

Tidak lama kemudian datanglah utusan Palimanan Mantri pepitu memeriksa pemukiman itu, sudah ada 346 orang, Cakrabuana pun bertemu dihadapan mereka.

Jubir Mantri pepitu berkata, “Hai tukang penangkap rebon, oleh perintah Sang Prabu engkau diharuskan mengirim upeti tiap tahun satu pikul bubukan rebon yang berbentuk gelondongan, karena Sang Prabu sangat terasih sekali dan minta kejelasan bagaimana membikin terasi itu.”

Cakrabuana mengucap “sandika. Adapun menangkapnya dengan jala tiap malam, diambilnya pagi-pagi. Rebon lalu diuyahi (digaremi) dan kemudian diperas, dijemur, setelah kering lalu ditumbuk digelondongi. Adapun air perasannya dimasak dengan diberi bumbu-bumbu. Masakan perasan air rebon lebih enak dan diberi nama petis blendrang.”

Ki Mantri berkata, “Coba ingin tahu rasanya cai (air) rebon itu.” Cakrabuana segera menyuruh istrinya memasak air perasan rebon.

Setelah masak lalu dihidangkan kepada Ki Mantri pepitu. Dan akhirnya mereka makan bersama dengan lauk pauk petis blendrang, sambil saling berkata, “bahwa cai (air) rebon lebih enak ketimbang gragenya (terasinya).”

Dari istilah air bekas pembuatan TERASI (belendrang) dari udang rebon ini berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi sebutan  Cirebon, kala waktu tahun 1447 M.

Menurut Ratu Raja Arimbi Nurtina, S. T. juru bicara Kesultanan Kanoman, TERASI KHAS CIREBON adalah bahan olahan untuk bumbu makanan, terbuat dari udang kecil atau rebon yang ditumbuk halus dan dibentuk bulat gelondongan, nama terasi diambil dari kata terasih yang artinya suka dan terasi adalah bagian dari sejarah Cirebon.

Seiring dengan perkembangan jaman, TERASI Khas CIREBON kini dikemas secara modern. Jika kamu ingin mencicipi Terasi khas cirebon, kamu tidak perlu datang jauh-jauh ke cirebon. Cukup pesan via web oleholehmami.com TERASI khas Cirebon sampai ditangan kamu.

(Sumber)

11505 Total Views    2 Views Today

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below